Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald: Ambisi Kepentok Durasi


Salah satu hal yang bikin serial novel Harry Potter menarik adalah jumlah karakternya yang berlimpah dan lapisan cerita bertumpuk, tapi tetap terjabarkan rapi membentuk Dunia Sihir yang kokoh. Semesta rekaan JK Rowling ini akhirnya tak cuma menciptakan seorang tokoh heroik lengkap dengan petualangan serunya—seperti Harry—tapi juga, sebuah dunia fiksi utuh, yang punya kompleksitas tinggi bak dunia nyata.

Membaca petualangan Harry mengalahkan sihir hitam Voldemort dalam tujuh buku tebal, dengan konflik bertumpuk, puluhan karakter dan latar narasinya masing-masing, sering kali bikin saya berpikir: seberapa penuh dan chaotic-nya isi pikiran Rowling?

Coba bayangkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan Rowling untuk menyusun satu sisilah keluarga Lestrange dan Black, misalnya, agar kalung R.A.B bisa masuk ke dalam plot petualangan Harry? Atau berapa lama yang dibutuhkannya untuk menciptakan karakter Severus Snape yang bertahun-tahun kita benci, lalu kita cintai begitu ia mengalami sakaratul maut?
Kompleksitas itulah yang kembali saya temukan saat menonton Fantastic Beast: The Crimes of Grindelwald (selanjutnya disebut The Crimes of Grindelwald), episode kedua dari serial Fantastic Beasts setelah Fantastic Beasts and Where to Find Them (2016).

Dengan subplot yang bertumpuk dan beberapa tokoh yang penggalian karakternya diberi ruang besar, menonton film ini lebih terasa seperti menggali buku-buku Harry Potter—yang selama ini memang tak pernah tertuang seratus persen saat diadaptasi jadi film.

Untuk sebuah film, JK Rowling terasa terlalu banyak maunya selaku penulis naskah—yang bisa baik dan buruk buat penggemar. Cerita kejahatan-kejahatan Grindelwald, seperti yang tertera pada judul, bukan satu-satunya plot yang akan kita ikuti. Bahkan, porsinya terlampau kecil jika ingin disebut konflik utama.

Ada cerita tentang Credence Barebone (Ezra Miller) yang ingin mencari identitas keluarganya, Nagini (Claudia Kim) yang ingin bebas dari sirkus, Queenie Goldstein (Alison Qudol) yang mati-matian ingin menikahi muggle, dan Albus Dumbledore (Jude Law) yang dipaksa Kementerian Sihir melawan cinta sejatinya: Grindelwald (Johnny Depp). Belum lagi konflik berlapis-lapis Newt Schamander (Eddie Redmayne) yang dipaksa kementerian jadi auror, memendam perasaan pada Leta Lestrange (Zoë Kravitz), kakak ipar yang tak lain adalah cinta pertamanya, mengejar cinta Tina Goldstein (Katherine Waterston), dan mencoba menemukan Credence sebelum Grindelwald.

Rentetan konflik itu belum termasuk cerita silsilah keluarga Lestrange yang malah terasa punya porsi lebih besar. Ah ya, jangan lupakan Zouwo, monster dari Cina—mirip barongsai—yang juga punya subplot-nya sendiri.

Namun, apakah semuanya membingungkan lagi menjemukan? Jawabannya akan sangat subjektif. Tergantung seberapa lama dan dalam Anda tenggelam di Dunia Sihir rekaan Rowling.

Buat saya sendiri, tumpukan plot ini perlu diapresiasi alih-alih dikritik. Susah menampik bahwa The Crimes of Grindelwald pada akhirnya menambah kedalaman semesta Harry Potter. Nama-nama di atas bukan barang baru yang sekonyong-konyong hadir. Sejak novel pertama Harry Potter terbit 26 Juni 1997 silam, nama Grindelwald sudah pernah disebut Ron dan Harry dalam perjalanan pertama mereka menuju Hogwarts. Newt Schamander, Leta Lestrange, Nagini, apalagi Albus Dumbledore juga bukan nama asing.

Konflik yang mereka hadapi dalam The Crimes of Grindelwald menguak sejumlah ihwal yang masih misterius dalam petualangan Harry, misalnya latar belakang Dumbledore yang tak banyak dikupas dalam tujuh novel pertama. Walhasil, semesta film ini (tahun 1926) yang terjadi jauh sebelum Harry Potter lahir akhirnya bikin para Potterheads, punya proyeksi gambaran Dunia Sihir jadi lebih tajam dan nyata.



Dongeng dalam naskah Rowling ini makin membius karena sentuhan dingin sutradara David Yates. Ia sangat rapi menyisipkan detail-detail kecil yang menambah nilai sentimental dalam The Crimes of Grindelwald. Misalnya, penggunaan Thestral (hewan yang cuma bisa dilihat oleh orang yang pernah menyaksikan kematian) saat kementerian mengangkut Grindelwald yang ingin dipindahkan ke Azkaban. Detail ini bisa saja terlewat begitu saja, tapi ia penting karena berhasil menambah kuat efek horor adegan pembuka film ini.

Kehadiran Thestral yang dibikin kasat mata membuat kita paham bahwa orang-orang Kementerian Sihir terbiasa dengan kematian.

Detail menarik lain yang diselipkan adalah praktik apparate di Hogwarts. Dalam film ini, kita akan kembali dibawa ke Hogwarts dan menyaksikan sejumlah penyihir bolak-balik melakukan apparate, praktik sihir yang dilarang ketika Harry bersekolah di sana. Ia sadar bahwa detail kecil itu memperkuat konteks waktu dalam naskah JK Rowling, sebab pada masa itu Dunia Sihir belum menghadapi kejahatan Voldemort yang bikin Hogwarts harus lebih siaga.

Dari film Harry Potter sebelum-sebelumnya (lima di antaranya disutradarai Yates), The Crimes of Grindelwald juga terasa unik karena berjalan lebih lambat. Alur bertumpuk dan subplot yang banyak ini diolah Yates selambat-lambatnya, dan mustahil detail ini akan terlewatkan penggemar Harry. Yates terlihat berambisi menerjemahkan tiap deskripsi yang dituliskan Rowling dalam naskahnya secara presisi.

Ia tak jarang mengambil sorotan close-up dalam beberapa adegan agar penonton benar-benar merasa intim dengan sejumlah karakter. Misalnya, saat menyorot pertemuan perdana Leta Strange dan Newt Schamander. Salah satu adegan yang paling menarik ditonton adalah bagaimana Yates menggambarkan isi kepala Queenie (seorang dengan kemampuan telepati) yang pusing karena dijejali pikiran-pikiran orang di sekitarnya.


Rasisme, Gay yang Terepresi, dan Representasi Minoritas

Naskah The Crimes of Grindelwald juga punya diskusi tajam yang tak eksplisit ditunjukkan dalam novel-novel Harry Potter yang berlabel buku anak.

Salah satunya adalah diskusi tentang rasisme kaum Aryan yang dihadirkan Rowling lewat karakter Grindelwald. Johnny Depp didandani amat pucat, lengkap dengan rambut putih dan sebelah matanya yang biru. Rowling memang terinspirasi menciptakan karakter Grindelwald dari fenomena meningkatnya populisme sayap kanan beberapa tahun terakhir. Karakter ini ingin politik Dunia Sihir disegregasi dan kekuasaan diserahkan pada mereka yang disebut pure blood, alias penyihir murni keturunan penyihir.

Kelak gaya ini akan diikuti Lord Voldemort, yang ceritanya dituangkan Rowling dalam serial Harry Potter. Sebagian besar pengikut Grindelwald juga akhirnya memutuskan jadi sekutu Voldemort karena gagasan rasis itu abadi dalam sekte mereka.

Karena para karakter dalam Fantastic Beasts sudah dewasa, diskusi tentang hal ini jadi tak segamblang ketika Rowling mendongeng tentang Voldemort. Ia juga menyelipkan kisah asmara sesama jenis antara Dumbledore dan Grindelwald yang diungkap secara tersirat dalam novel-novel Harry Potter.

Rowling bahkan menyelipkan perjanjian pengikat darah antara Voldemort dan Grindelwald yang dideskripsikan Yates, sebagai adegan sensual di antara sepasang kekasih tersebut. Sebelumnya, Rowling memang tak pernah menyebut orientasi seksual Dumbledore dalam novelnya. Namun, pada 2007 lalu, ia sempat mengonfirmasi bahwa Dumbledore memang gay, dan punya hubungan spesial dengan Grindelwald. Dialog “Kami lebih dari saudara” yang keluar dari Dumbledore untuk mendeskripsikan hubungannya dengan Grindelwald memang bukan kalimat melela yang kuat. Tapi, mengingat konteks tahun saat kalimat itu diucapkan, Dumbledore—konon, salah satu penyihir paling kuat sepanjang sejarah, kalau bukan yang paling nomor satu—sudah cukup lantang menyebutnya di depan kementerian.

Jude Law juga menampilkan karakter ini dengan sangat baik. Kernyitan dahinya saat pertama kali muncul dalam film ini adalah salah satu adegan paling nostalgis yang langsung mengingatkan saya pada Dumbledore versi Michael Gambon. Seketika Jude Law menjadi Dumbledore yang selama ini kita kenal.




Sayang, tujuan mulia Rowling menempatkan rasisme (dan xenophobia) di kubu karakter antagonis, belum seterang cita-citanya menebar pesan keragaman dalam semesta Harry Potter ini. Aktor Claudia Kim yang memerankan Nagini—ular, yang dalam film disebut berasal dari Indonesia—masih terlalu “ke-Korea-Korea-an”.



Alasan Ibu Leta Lestrange yang dijampi-jampi Eglantine Lestrange juga terlalu dibuat-buat, jika hanya ingin menambah unsur orang berkulit berwarna. Sebab, setelah ibu Leta meninggal, Eglantine justru memperistri perempuan kulit putih lainnya, yang jadi ibu Corvus Lestrange. Lagipula, bukankah keluarga Lestrange terkenal amat mencintai darah murni mereka dan berpenampilan keningrat-ningratan ala kaum Aryan?

Pada akhirnya Rowling dan Yates memang dibatasi durasi untuk menerjemahkan cerita yang mereka inginkan ke layar lebar.

Beberapa subplot bahkan terasa amat menggantung. Lihat saja ujung nasib Nagini dan Leta Lestrange. Pencarian jati diri Credence juga masih diberi porsi kecil sekali, tak jauh beda dari film pertamanya. Rowling amat kentara menyiapkan The Crimes of Grindelwad sebagai pembuka petualangan yang lebih seru di Fantastic Beasts ketiga.

Namun, pertanyaan sebenarnya bukan tentang keseruan itu, melainkan apakah penonton akan tetap antusias menanti petualangan ini? Pasalnya, The Crimes of Grindelwald memang terlalu eksklusif dan berpotensi bikin penggemar newbie kehilangan selera duluan.

No comments